BAB V PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

 

BAB V

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

 

A.       PENDAHULUAN 

 

Pendidikan merupakan salah satu aspek fundamental dalam kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Dalam perspektif antropologi, pendidikan dipandang sebagai bagian integral dari proses kebudayaan yang berlangsung secara turun-temurun melalui mekanisme pembelajaran sosial (social learning). Artinya, pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, di mana nilai, norma, dan pengetahuan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Koentjaraningrat, 2009). Dengan demikian, pendidikan berfungsi sebagai sarana pewarisan budaya (cultural transmission) yang menjaga kesinambungan identitas suatu masyarakat.

 

Pendekatan antropologis terhadap pendidikan menempatkan manusia sebagai makhluk sosial dan kultural yang belajar melalui interaksi dengan lingkungannya. Pendidikan tidak sekadar proses formal yang terjadi di lembaga pendidikan, melainkan juga mencakup pendidikan informal dan nonformal yang berakar pada tradisi, adat, dan praktik sosial masyarakat (Tilaar, 2004). Dalam konteks ini, antropologi membantu memahami bagaimana kebudayaan memengaruhi tujuan, isi, dan metode pendidikan di berbagai kelompok masyarakat, serta bagaimana pendidikan berperan dalam membentuk struktur sosial dan pola perilaku manusia.

 

Selain itu, pendidikan dalam perspektif antropologi juga menyoroti dinamika perubahan budaya yang dipicu oleh proses globalisasi dan modernisasi. Perubahan nilai-nilai sosial, gaya hidup, dan sistem pengetahuan mengharuskan pendidikan beradaptasi dengan konteks budaya yang terus berkembang (Sutrisno, 2015). Antropologi pendidikan berupaya memahami bagaimana lembaga pendidikan dapat menjadi agen perubahan budaya (agent of cultural change) sekaligus pelestari tradisi lokal (guardian of local wisdom). Pendekatan ini penting untuk menghindari homogenisasi budaya yang sering terjadi akibat penetrasi budaya global.

 

Dalam kajian antropologi, pendidikan dipandang memiliki fungsi ganda: sebagai alat pelestarian dan sekaligus transformasi budaya. Pendidikan melestarikan nilai-nilai luhur suatu masyarakat agar tidak hilang ditelan zaman, namun di sisi lain juga mendorong terjadinya inovasi sosial melalui pengetahuan dan keterampilan baru yang diperoleh peserta didik (Suparlan, 2004). Proses ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah arena dialektika antara tradisi dan modernitas, antara warisan budaya dan pembaruan sosial.

 

Dengan demikian, memahami pendidikan dalam perspektif antropologi memungkinkan kita melihat proses pendidikan secara lebih luas, tidak hanya dari segi sistem dan kurikulum, tetapi juga dari konteks sosial, budaya, dan historis yang melingkupinya. Pendekatan ini menekankan pentingnya pendidikan yang kontekstual dan berakar pada budaya lokal, sehingga dapat membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan beridentitas budaya kuat (Geertz, 1992). Oleh karena itu, pendidikan yang berlandaskan perspektif antropologi diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan pelestarian nilai-nilai budaya bangsa.

B. Pendidikan sebagai Proses Kebudayaan

Pendidikan dalam perspektif antropologi dipahami sebagai bagian integral dari proses kebudayaan yang berlangsung terus-menerus dalam kehidupan manusia. Antropologi memandang bahwa pendidikan tidak hanya terbatas pada lembaga formal seperti sekolah dan universitas, tetapi juga mencakup proses belajar yang terjadi dalam masyarakat melalui interaksi sosial, tradisi, dan nilai-nilai budaya. Dengan demikian, pendidikan merupakan mekanisme sosial yang berfungsi mentransmisikan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya (Koentjaraningrat, 2009). Melalui pendidikan, manusia belajar memahami lingkungannya, menyesuaikan diri, serta mengembangkan potensi dirinya dalam kerangka nilai-nilai budaya yang berlaku.

Dalam konteks ini, pendidikan berperan sebagai sarana sosialisasi budaya (cultural socialization). Anak-anak belajar tentang norma, etika, bahasa, dan simbol-simbol budaya melalui proses pendidikan, baik secara sadar maupun tidak. Menurut Tilaar (2004), pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk identitas kultural peserta didik, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang menegaskan siapa mereka dalam masyarakat. Proses internalisasi nilai budaya ini menjadikan pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan kepribadian dan karakter sesuai dengan budaya masyarakat.

Pendidikan sebagai proses kebudayaan juga mencerminkan upaya masyarakat dalam mempertahankan eksistensinya. Melalui pendidikan, masyarakat berusaha melestarikan adat istiadat, bahasa, dan kearifan lokal yang menjadi ciri khasnya. Sebagai contoh, dalam masyarakat tradisional di Indonesia, seperti masyarakat Minangkabau atau Bali, pendidikan budaya dilaksanakan melalui sistem adat, upacara, dan kegiatan sosial yang sarat nilai-nilai moral serta spiritual (Suparlan, 2004). Dengan demikian, pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga kesinambungan identitas budaya dan solidaritas sosial.

Namun demikian, pendidikan tidak hanya berfungsi melestarikan kebudayaan, tetapi juga menjadi sarana perubahan sosial. Dalam perspektif antropologi modern, pendidikan merupakan agen transformasi budaya (agent of cultural change) yang memungkinkan masyarakat beradaptasi dengan perkembangan zaman (Sutrisno, 2015). Melalui pendidikan, nilai-nilai baru, ilmu pengetahuan, dan teknologi diperkenalkan, sehingga terbentuk pola pikir yang lebih terbuka dan kritis. Proses ini menjadikan pendidikan sebagai ruang dialektika antara pelestarian tradisi dan pembaruan sosial.

Lebih lanjut, pendidikan sebagai proses kebudayaan juga menuntut adanya keseimbangan antara nilai-nilai lokal dan global. Globalisasi membawa tantangan bagi pendidikan karena munculnya budaya populer, gaya hidup konsumtif, serta nilai-nilai individualistik yang dapat menggeser budaya lokal. Menurut Geertz (1992), setiap masyarakat harus mampu menginterpretasikan budaya global secara kritis dan menyesuaikannya dengan konteks lokal. Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi sarana untuk memperkuat daya seleksi budaya agar masyarakat tidak kehilangan identitasnya di tengah arus modernisasi.

Dalam pandangan antropologi pendidikan, guru dan lembaga pendidikan memiliki peran penting sebagai penjaga dan penerus budaya. Guru bukan hanya pengajar pengetahuan akademik, tetapi juga pembimbing dalam menanamkan nilai-nilai budaya dan moral. Kurikulum pendidikan perlu dirancang dengan memperhatikan aspek budaya lokal agar pembelajaran menjadi kontekstual dan relevan dengan kehidupan masyarakat (Tilaar, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang berakar pada budaya lokal akan menghasilkan manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan berkepribadian kuat.

Pendidikan sebagai proses kebudayaan juga menunjukkan bahwa belajar adalah aktivitas sosial yang penuh makna. Proses pembelajaran tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya. Menurut Spradley (1997), setiap tindakan pendidikan mengandung simbol dan makna budaya tertentu yang membentuk cara berpikir peserta didik. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap konteks budaya sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan agar nilai-nilai yang diajarkan tidak bertentangan dengan norma masyarakat.

Dengan demikian, pendidikan dalam perspektif antropologi tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pembentukan manusia yang berbudaya. Pendidikan dipandang sebagai proses kebudayaan yang berkesinambungan, di mana manusia belajar menjadi bagian dari masyarakat sekaligus agen perubahan sosial. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam sistem pendidikan, diharapkan tercipta keseimbangan antara pelestarian tradisi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Pendidikan yang demikian akan mampu menghasilkan generasi yang berakar kuat pada budaya sendiri namun terbuka terhadap perubahan global.

C. Nilai-Nilai Budaya dan Pembentukan Karakter Peserta Didik

Nilai-nilai budaya merupakan inti dari sistem sosial yang berfungsi membimbing perilaku, pola pikir, dan cara pandang manusia terhadap kehidupan. Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai budaya memiliki peran strategis sebagai landasan moral dan etika dalam membentuk karakter peserta didik. Menurut Koentjaraningrat (2009), budaya mengandung unsur sistem nilai yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi pedoman bagi anggota masyarakat dalam bertindak. Pendidikan yang berorientasi pada budaya tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga menginternalisasikan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, dan rasa hormat terhadap sesama. Dengan demikian, pendidikan menjadi wahana efektif untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat jati diri bangsa.

Pembentukan karakter peserta didik tidak dapat dilepaskan dari proses internalisasi nilai-nilai budaya yang berlangsung melalui pendidikan formal maupun nonformal. Tilaar (2004) menegaskan bahwa pendidikan berperan sebagai sarana pewarisan budaya yang mempersiapkan individu agar mampu hidup sesuai dengan nilai dan norma masyarakatnya. Melalui kegiatan pembelajaran yang kontekstual, peserta didik tidak hanya memperoleh pengetahuan akademik, tetapi juga belajar memahami makna sosial, moral, dan spiritual dari kebudayaan mereka. Misalnya, penerapan nilai gotong royong dalam aktivitas sekolah dapat menumbuhkan sikap saling membantu, empati, serta solidaritas sosial yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.

Dalam konteks globalisasi dan modernisasi, pendidikan berbasis nilai budaya menjadi semakin penting karena arus informasi dan gaya hidup global berpotensi menggeser nilai-nilai tradisional. Sutrisno (2015) menyatakan bahwa pendidikan harus berperan sebagai filter budaya yang mampu menyeleksi pengaruh luar tanpa kehilangan identitas nasional. Antropologi pendidikan melihat hal ini sebagai tantangan untuk membangun sistem pendidikan yang adaptif terhadap perubahan, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai budaya lokal. Melalui pendidikan yang berbasis budaya, peserta didik diharapkan mampu mengembangkan karakter yang kuat, terbuka terhadap kemajuan, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.

Oleh karena itu, pembentukan karakter peserta didik harus dilakukan secara berkelanjutan melalui integrasi nilai-nilai budaya dalam seluruh aspek pendidikan. Suparlan (2004) menjelaskan bahwa karakter tidak terbentuk secara instan, melainkan melalui proses sosialisasi budaya yang konsisten antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai budaya akan menghasilkan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepribadian luhur dan kepedulian sosial yang tinggi. Dengan demikian, pendidikan dalam perspektif antropologi menegaskan bahwa nilai-nilai budaya merupakan sumber utama pembentukan karakter bangsa yang bermartabat dan berdaya saing di tengah tantangan global.

D. Lembaga Pendidikan sebagai Agen Pewarisan Budaya

Lembaga pendidikan memiliki peran penting sebagai agen pewarisan budaya dalam masyarakat. Dalam perspektif antropologi, pendidikan dipandang sebagai mekanisme sosial yang bertugas mentransmisikan nilai, norma, dan pengetahuan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya (Koentjaraningrat, 2009). Sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembelajaran formal, tetapi juga sebagai ruang sosialisasi budaya di mana peserta didik mempelajari cara hidup, bahasa, simbol, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Melalui lembaga pendidikan, kebudayaan tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diadaptasikan agar relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sosial.

Proses pewarisan budaya melalui lembaga pendidikan berlangsung secara sistematis dan terencana. Tilaar (2004) menjelaskan bahwa kurikulum, metode pembelajaran, dan lingkungan sekolah merupakan media penting dalam mentransfer nilai-nilai budaya kepada peserta didik. Misalnya, pengajaran mata pelajaran sejarah, bahasa daerah, dan pendidikan kewarganegaraan berperan menanamkan identitas nasional serta rasa cinta tanah air. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler seperti seni, musik, dan upacara adat sekolah juga menjadi sarana efektif dalam memperkenalkan dan melestarikan budaya lokal. Dengan demikian, lembaga pendidikan menjadi wahana strategis untuk memperkuat jati diri bangsa melalui proses pendidikan yang berbasis nilai budaya.

Namun, dalam era globalisasi dan modernisasi, peran lembaga pendidikan sebagai agen pewarisan budaya menghadapi berbagai tantangan. Arus informasi global sering kali membawa nilai-nilai baru yang tidak selalu sejalan dengan budaya lokal. Sutrisno (2015) menekankan bahwa lembaga pendidikan harus mampu berperan sebagai filter budaya yang kritis, yaitu menyaring pengaruh luar sambil tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa. Pendidikan perlu dirancang secara adaptif dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam proses pembelajaran agar peserta didik mampu menghadapi perubahan sosial tanpa kehilangan akar budayanya. Dengan demikian, lembaga pendidikan berperan ganda: melestarikan warisan budaya sekaligus membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan global.

Selain sebagai pewaris budaya, lembaga pendidikan juga berfungsi sebagai agen pembaruan budaya. Suparlan (2004) menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya mempertahankan nilai-nilai lama, tetapi juga mendorong inovasi sosial melalui pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan berperan mengembangkan budaya belajar yang terbuka, kreatif, dan kolaboratif agar peserta didik mampu menciptakan perubahan positif dalam masyarakat. Dengan memadukan pelestarian dan pembaruan budaya, lembaga pendidikan akan menjadi motor utama dalam membangun masyarakat yang berkarakter, berpengetahuan, dan berbudaya maju. Oleh karena itu, peran lembaga pendidikan sebagai agen pewarisan budaya perlu terus diperkuat melalui kebijakan, kurikulum, dan praktik pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai budaya bangsa.

E. Antropologi dan Pendekatan Etnografi dalam Penelitian Pendidikan

Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan penelitian pendidikan, terutama melalui pendekatan etnografi. Pendekatan ini memungkinkan peneliti memahami fenomena pendidikan secara mendalam dalam konteks sosial dan budaya tempat proses belajar mengajar berlangsung. Menurut Spradley (1997), etnografi merupakan metode penelitian yang berupaya memahami makna perilaku, nilai, dan praktik sosial dari sudut pandang partisipan. Dalam konteks pendidikan, pendekatan etnografi membantu peneliti memahami bagaimana nilai-nilai budaya, struktur sosial, serta interaksi antarindividu memengaruhi proses pendidikan di sekolah maupun masyarakat.

endekatan etnografi dalam penelitian pendidikan berfokus pada pengamatan langsung dan keterlibatan peneliti di lapangan. Bogdan dan Biklen (2007) menyatakan bahwa etnografi memungkinkan peneliti menangkap dinamika kehidupan sekolah secara utuh, termasuk hubungan antara guru dan siswa, kebijakan pendidikan, serta budaya sekolah yang terbentuk dari interaksi sosial. Melalui observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen, peneliti dapat memperoleh pemahaman kontekstual tentang bagaimana pendidikan dilaksanakan dalam realitas sosial tertentu. Hal ini menjadikan pendekatan etnografi sangat relevan untuk mengkaji isu-isu pendidikan yang kompleks, seperti ketimpangan sosial, multikulturalisme, dan praktik pembelajaran berbasis budaya.

Selain memberikan pemahaman kontekstual, pendekatan etnografi juga berfungsi sebagai sarana refleksi bagi pengembangan kebijakan dan praktik pendidikan. Dengan menelaah pengalaman nyata para pelaku pendidikan, penelitian etnografi dapat mengungkap kesenjangan antara kebijakan pendidikan yang bersifat makro dan implementasi di tingkat sekolah (Tilaar, 2004). Misalnya, hasil penelitian etnografi dapat menunjukkan bagaimana guru menafsirkan kurikulum berdasarkan konteks budaya lokal, atau bagaimana peserta didik merespons metode pembelajaran tertentu sesuai dengan latar sosial mereka. Dengan demikian, etnografi memberikan dasar empiris bagi pengambilan keputusan pendidikan yang lebih humanistik dan berbasis kebutuhan masyarakat.

Lebih jauh, antropologi melalui pendekatan etnografi berperan dalam memperkaya pemahaman tentang pendidikan sebagai proses sosial dan budaya. Suparlan (2004) menegaskan bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dari lingkungan budaya tempat ia tumbuh, sehingga penelitian pendidikan harus mempertimbangkan nilai, simbol, dan makna yang hidup dalam masyarakat. Pendekatan etnografi memungkinkan peneliti melihat pendidikan bukan sekadar proses akademik, tetapi juga sebagai arena pembentukan identitas, relasi kekuasaan, dan reproduksi budaya. Oleh karena itu, integrasi antropologi dan metode etnografi dalam penelitian pendidikan sangat penting untuk menghasilkan pemahaman yang komprehensif, kontekstual, dan bermakna bagi pengembangan teori maupun praktik pendidikan di Indonesia.

RANGKUMAN MATERI

Pendidikan dalam perspektif antropologi dipahami sebagai bagian dari proses kebudayaan yang berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya kegiatan formal di sekolah, tetapi juga mencakup pembelajaran sosial yang terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Melalui pendidikan, nilai, norma, dan tradisi budaya diwariskan kepada generasi berikutnya sebagai bagian dari upaya pelestarian identitas sosial. Antropologi membantu memahami pendidikan sebagai proses sosial dan budaya yang membentuk manusia agar mampu hidup sesuai dengan konteks masyarakatnya.

Nilai-nilai budaya memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan yang berakar pada budaya tidak hanya menekankan aspek intelektual, tetapi juga penguatan moral, spiritual, dan sosial melalui internalisasi nilai-nilai luhur seperti gotong royong, tanggung jawab, dan kejujuran. Dalam konteks globalisasi, pendidikan berbasis budaya menjadi benteng dalam menjaga jati diri bangsa agar tidak tergerus oleh arus budaya luar. Oleh karena itu, pembentukan karakter peserta didik harus senantiasa terintegrasi dengan nilai-nilai budaya lokal dan nasional agar menghasilkan generasi yang berkepribadian kuat serta berdaya saing global.

Lembaga pendidikan berperan sebagai agen utama dalam pewarisan dan pembaruan budaya. Sekolah dan perguruan tinggi menjadi wadah untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya sekaligus mengembangkan inovasi sosial melalui ilmu pengetahuan. Pendekatan antropologis, khususnya melalui metode etnografi, memberikan pemahaman mendalam tentang praktik pendidikan dalam konteks sosial dan budaya masyarakat. Melalui penelitian etnografi, pendidikan dapat dilihat secara lebih humanistik dan kontekstual sehingga mampu menciptakan sistem pembelajaran yang relevan, adaptif, serta berakar pada nilai-nilai budaya bangsa.

 

TUGAS DAN EVALUASI

A. Tugas

1.      Buatlah sebuah esai ilmiah (2–3 halaman) yang membahas hubungan antara pendidikan dan kebudayaan menurut perspektif antropologi! Sertakan minimal dua sumber pustaka ilmiah berformat APA Style.

2.      Lakukan observasi sederhana di lingkungan sekolah atau masyarakat sekitar Anda, kemudian deskripsikan bagaimana proses pewarisan nilai-nilai budaya terjadi melalui kegiatan pendidikan formal maupun nonformal.

3.      Kembangkan sebuah contoh kegiatan pembelajaran berbasis budaya lokal yang dapat diterapkan dalam pendidikan karakter peserta didik di sekolah dasar atau menengah. Jelaskan alasan pemilihannya.

B. Evaluasi

1.      Jelaskan bagaimana pendidikan dapat dipandang sebagai bagian dari proses kebudayaan dalam perspektif antropologi!

2.      Mengapa nilai-nilai budaya dianggap penting dalam pembentukan karakter peserta didik? Berikan contohnya dalam konteks pendidikan Indonesia.

3.      Uraikan peran lembaga pendidikan sebagai agen pewarisan budaya sekaligus agen pembaruan budaya!

4.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan etnografi dalam penelitian pendidikan, dan bagaimana penerapannya dapat membantu memahami praktik pendidikan di sekolah?

5.      Menurut Anda, bagaimana cara menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya lokal dan penerapan pendidikan modern di era globalisasi saat ini?

 

DAFTAR PUSTAKA

Bogdan, R. C., & Biklen, S. K. (2007). Qualitative research for education: An introduction to theory and methods. Boston, MA: Allyn and Bacon.

Geertz, C. (1992). Tafsir kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Spradley, J. P. (1997). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suparlan, P. (2004). Antropologi pendidikan: Suatu pendekatan terhadap studi pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutrisno, M. (2015). Budaya dan pendidikan: Relasi dan relevansi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo.


Profil Penulis

 


Julianti lahir di Selatpanjang pada 1 Januari 2004. Ia merupakan putri dari pasangan Bapak Mundarais dan Ibu Kartini yang selalu menjadi sumber semangat dan inspirasi dalam setiap langkah hidupnya. Sejak menempuh pendidikan di SMAN 1 Tebing Tinggi Barat, Julianti dikenal sebagai pribadi yang tekun, disiplin, dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Saat ini, ia tengah menyelesaikan studi pada Program Sarjana (S1) di Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin (IAITF) Dumai dengan konsentrasi Pendidikan Agama Islam.Bagi Julianti, pendidikan bukan hanya tentang meraih gelar, tetapi juga tentang mengembangkan potensi diri dan menebar manfaat bagi orang lain. Ia bercita-cita setelah menyelesaikan pendidikannya dapat meraih karier yang lebih baik serta menjadi pribadi yang membahagiakan kedua orang tuanya. Prinsip hidup yang ia pegang teguh adalah untuk selalu berbuat kebaikan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.dengan harapan dapat memberikan manfaat luas bagi masyarakat melalui ilmu, karya, dan keteladanan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

komunikasi Dalam islam Qaulan Adzhim